telah menceritakan kepada kami [Al Anshari] berkata; telah menceritakan kepada kami [Ma'n] berkata; telah menceritakan kepada kami [Malik bin Anas] dari [Ibnu Syihab] dari [Ibnu Ukaimah Al Laitsi] dari [Abu Hurairah] berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berlalu dari shalat yang bacaan di dalamnya di keraskan, setelah itu beliau bertanya: "Apakah salah seorang ada yang membaca bersama-sama dengan aku barusan?" lalu berkatalah seseorang, "Benar wahai Rasulullah." beliau bersabda: "Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an!" Abu Hurairah berkata; "Maka orang-orang pun berhenti dari membaca (berbarengan) bersama-sama Rasulullah pada shalat-shalat yang bacaannya dikeraskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Yaitu setelah mereka mendengar (teguran) itu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ibnu Mas'ud, Imran bin Hushain dan Jabir bin Abdullah." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan. Ibnu Ukaimah Al Laitsi namanya adalah Umarah. Atau disebut juga dengan 'Amru bin Ukaimah. Sebagian sahabat Az Zuhri juga telah meriwayatkan hadits ini. Dan mereka menyebutkan persis sebagimana hadits ini. Ia berkata; "Az Zuhri berkata; "Orang-orang berhenti dari membaca ketika mereka mendengar teguran itu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam hadits ini tidak dimasukkan bagi orang-orang yang berpendapat atas dibolehkannya membaca di belakang imam, sebab Abu Hurairah lah yang meriwayatkan hadits ini dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda: "Barangsiapa mengerjakan shalat dan tidak membaca di dalamnya Ummul Qur`an (Al Fatihah) maka shalatnya kurang, kurang dan tidak sempurna." Lalu orang yang meriwayatkan hadits tersebut bertanya, "Di belakang imam kadang-kadang aku (membaca), " beliau (langsung) bersabda: "Bacalah dalam hatimu." Abu Utsman An Nahdi meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepadaku untuk menyerukan kepada manusia bahwa tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al fatihah)." Maka para ahli hadits pun memilih pendapat, bahwa seorang laki-laki tidak boleh membaca jika imam mengeraskan bacaan. Mereka berkata; "Mereka mengikuti (bacaan) ketika imam berhenti diwaktu jeda." Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum membaca di belakang imam, sebagian besar ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tabi'in dan orang-orang setelah mereka berpendapat atas bolehnya membaca di belakang imam. Pendapat ini diambil oleh Malik bin Anas, Abdullah bin Al Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Diriwayatkan dari Abdullah bin Al Mubarak, bahwa ia berkata; "Aku membaca dan orang-orang membaca di belakang imam, kecuali sekelompok orang dari penduduk Kufah. Namun aku juga berpendapat bahwa orang yang tidak membacanya shalatnya tetap sah. Sebagian ulama sangat keras dalam masalah (tidak bolehnya) meninggalkan bacaan Fatihatul Kitab dalam shalat, meskipun seseorang berada di belakang imam, mereka berkata; "Shalat tidak dianggap sah kecuali dengan bacaan Fatihatul Kitab. Baik ia shalat sendirian atau bersama imam." Mereka berpegangan dengan hadits riwayat Ubadah bin Ash Shamit dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Ubadah bin Ash Shamit pun tetap membaca di belakang Imam setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan ia mentakwilkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Tidak ada (sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab." Pendapat ini diambil oleh Syafi'i, Ishaq dan selain keduanya. Adapun Imam Ahmad, ia mengatakan, "Makna sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Tidak ada (sempurna) shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab, " yakni jika ia shalat sendirian. Lalu Imam Ahmad berdalil dengan hadits Jabir bin Abdullah, ia berkata; "Barangsiapa shalat satu rakaat dan tidak membaca Ummul Qur`an di dalamnya maka ia belum shalat, kecuali jika ia shalat di belakang imam." Imam Ahmad berkata; "Jabir adalah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, (namun) ia tetap mentakwilkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Tidak shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab, " bahwa hadits ini (berlaku) jika shalat sendirian." Namun begitu Imam Ahmad tetap memilih untuk membaca di belakang imam, dan hendaknya seorang laki-laki tidak meninggalkan (dari membaca) Fatihatul Kitab meskipun berada di belakang imam." | tirmidzi:287 |
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Asy Syawarib] berkata; telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Zurai'] berkata; telah menceritakan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhri] dari [Abu Salamah] ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika shalat telah didirikan maka janganlah kalian datangi dengan tergesa-gesa, akan tetapi datangilah dengan berjalan dan tenang. Apa yang kalian dapati maka shalatlah dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah." Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abu Qatadah, Ubai bin Ka'ab, Abu Sa'id, Zaid bin Tsabit, Jabir dan Anas." Abu Isa berkata; "Para ulama berselisih tentang berjalan ke masjid. sebagian berpendapat bahwa seseorang dianjurkan untuk bersegera jika dikawatirkan akan ketinggalan takbir yang pertama. Hingga disebutkan bahwa sebagian dari mereka berjalan cepat ketika menghadiri shalat. Sedangkan sebagian yang lain berpendapat atas makruhnya terburu-buru dalam menghadiri shalat. Mereka memilih untuk berjalan dengan tenang dan berwibawa. Pendapat ini diambil oleh Ahmad dan Ishaq. Mereka berdua berkata; "Pengamalan (dalam hal ini) adalah berdasar hadits Abu Hurairah." Ahmad berkata; "Jika seseorang takut kehilangan takbir pertama maka tidak mengapa untuk berjalan dengan bersegera." Telah menceritakan kepada kami [Al Hasan bin Ali Al Khallal] berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] berkata; telah mengabarkan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhri] dari [Sa'id bin Al Musayyib] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana hadits Abu Salamah dari Abu Hurairah dengan hadits yang semakna dengan sebelumnya. Abdurrazaq berkata; "Hadits Abu Sa'id dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih shahih daripada hadits dari Yazid bin Zurai'. Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Umar] berkata; telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Az Zuhri] dari [Sa'id bin Al Musayyib] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana hadits sebelumnya." | tirmidzi:301 |
telah menceritakan kepada kami [Al Hasan Bakr Al Marwazi] berkata; telah menceritakan kepada kami [Al Mu'alla bin Manshur] berkata; telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Ja'far Al Makhzumi] dari [Utsman bin Muhammad Al Akhnas] dari [Sa'id Al Maqburi] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Antara timur dan barat adalah arah kiblat." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Ia disebut dengan Abdullah bin Ja'far Al Makhzumi karena ia adalah anak dari Al Miswar bin Makhramah. Telah diriwayatkan lebih dari seorang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Antara timur dan barat adalah arah kiblat." Di antara yang berpendapat seperti itu adalah Umar bin Al Khaththab, Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas. Ibnu Umar berkata; "Jika engkau jadikan arah barat pada sisi kananmu dan arah timur pada sisi kirimu, maka antara keduanya adalah arah kibat. Dan dengan begitu engkau telah menghadap ke kiblat." Bin Al Mubarak berkata; "Antara timur dan barat adalah arah kiblat, dan ini adalah untuk penduduk wilayah timur." Dan Abdullah bin Bin Al Mubarak memilih arah kiri bagi penduduk Marwa." | tirmidzi:314 |
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'] berkata; telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Harun] dari [Abu Qilabah Al Asyja'i] ia berkata; "Aku pernah bertanya kepada [ayahku], "Wahai ayah, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah ini sekitar selama lima tahun, maka apakah mereka membaca qunut?" ia menjawab, "Wahai anakku, itu adalah perkara baru." Abu Isa berkata; "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Dan hadits ini diamalkan oleh banyak ulama. Sufyan Ats Tsauri berkata; "Jika seseorang melakukan qunut dalam shalat subuh maka itu baik, jika tidak maka itu juga baik." Dan Sufyan Ats Tsauri memilih untuk tidak melakukan qunut. Demikian juga Ibnu Al Mubarak, ia tidak melakukan qunut dalam shalat subuh." Abu Isa berkata; "Abu Malik Al Asyja'i namanya adalah Sa'd bin Thariq bin Asyyam. Telah menceritakan kepada kami [Shalih bin Abdullah] berkata; telah menceritakan kepada kami [Abu Awanah] dari [Abu Malik Al Asyja'i] seperti makna hadits tersebut dengan sanad ini." | tirmidzi:368 |
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Basysyar] berkata; telah menceritakan kepada kami [Abu Amir] -yaitu Al Aqadi Abdul Malik bin Amru- dari [Sufyan] dari [Abu Ishaq] dari ['Ashim bin Dlamrah] dari [Ali] ia berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat empat rakaat sebelum asar, dan beliau memisahkan antara empat rakaat tersebut dengan mengucapkan salam kepada malaikat muqarrabin, orang-orang muslim dan mukmin yang mengikutinya." Abu Isa berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ibnu Umar dan Abdullah bin Amru." Abu Isa berkata; "Hadits Ali ini derajatnya hasan shahih. Ishaq bin Ibrahim memilih untuk tidak memisahkan antara empat rakaat tersebut berdasarkan hadits ini." Ishaq berkata lagi, "Adapun maksud dari ucapannya, "memisahkan di antara empat rakaat itu dengan salam, " adalah dengan tasyahud." Imam Syafi'i dan Ahmad berpandangan bahwa shalat yang dilakukan baik malam ataupun siang adalah dua rakaat-dua rakaat, dan keduanya memilih adanya pemisahan dalam melaksanakan shalat empat rakaat sebelum asar." | tirmidzi:394 |
Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami [Abu Al Ahwash] dari [Abu Ishaq] dari [Buraid bin Abu Maryam] dari [Abu Al Khaura' As Sa'di] dia berkata, [Al Hasan bin Ali] radliallahu 'anhuma berkata, Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu ALLAHUMMAHDINI FIIMAN HADAIT, WA'AAFINI FIIMAN 'AFAIT, WATAWALLANII FIIMAN TAWALLAIT, WABAARIK LII FIIMA A'THAIT, WAQINII SYARRAMA QADLAIT, FAINNAKA TAQDLI WALAA YUQDLA 'ALAIK, WAINNAHU LAA YADZILLU MAN WAALAIT, TABAARAKTA RABBANA WATA'AALAIT. (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Ali. Abu Isa berkata, ini adalah hadits hasan, kami tidak mengetahui (jalur periwayatannya) selain dari jalur ini, dari hadits Abu Al Khaura' As Sa'di dan namanya adalah Rabi'ah bin Syaiban, kami juga tidak mengetahui dari Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam sesuatupun dari qunut witir yang lebih bagus dari ini. Para ulama berbeda-beda mengenai masalah qunut witir, Abdullah bin Mas'ud berpendapat qunut witir dikerjakan disetiap tahunnya, sebagian ulama memilih untuk mengerjakan qunut sebelum ruku' diantaranya adalah perkataan Sufyan At Tsauri, Ibnu Mubarak, Ishaq dan penduduk Kufah. Telah diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib bahwa dia tidak melaksanakan qunut melainkan di pertengahan akhir bulan Ramadlan, dan melaksanakan qunut setelah ruku', sebagian para ulam juga berpendapat seperti ini, seperti perkataan Syafi'i dan Ahmad. | tirmidzi:426 |
Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Yunus Al Kufi] telah menceritakan kepada kami [Al Muharibi] dari [Al Hajjaj bin Arthah] dari [Abu Ishaq] dari [Hubairah bin Maryam] dari [Ali] dan dari [Amru bin Murrah] dari [Ibnu Abu Laila] dari [Mu'adz bin Jabal] Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seseorang diantara kalian pergi ke masjid untuk shalat berjama'ah lalu kalian mendapati imam sedang melakukan suatu gerakan dalam shalat, hendaknya ia langsung mengikuti gerakan imam." Abu 'Isa berkata, ini adalah hadits gharib, tidak ada seorangpun yang memaushulkan sanadnya kecuali melalui sanad ini, hadits ini juga diamalkan oleh ahlul ilmi, mereka berkata, jika seseorang mendapati imam sedang sujud, hendaknya ia sujud, hal itu tidak dihitung satu raka'at jika tertinggal ruku' bersama imam. Demikian juga Abdullah bin Mubarak lebih memilih untuk sujud bersama imam, sambil menyebutkan perkataan sebagian ulama, Mudah-mudahan Allah mengampuninya sebelum dia mengangkat kepalanya dari sujud tersebut. | tirmidzi:539 |
Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah] telah menceritakan kepada kami ['Abdul 'Aziz bin Muhammad] dari [Ja'far bin Muhammad] dari [ayahnya] dari [Jabir bin Abdullah] bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam keluar menuju Makkah pada tahun penaklukan kota Makkah sambil berpuasa bersama para shahabatnya, ketika sampai di Kuraa'ul ghamim dikatakan kepada beliau, Sesungguhnya orang-orang keberatan karena berpuasa dan mereka melihat apa yang akan tuan perbuat, lantas beliau meminta sekantong air setelah ashar kemudian meminumnya dengan disaksikan oleh seluruh shahabat, maka sebagian mereka ikut berbuka dan sebagian yang lain memilih tetap berpuasa, ternyata berita orang-orang yang tetap berpuasa sampai kepada beliau, lantas beliau berkata: "Mereka adalah orang-orang yang durhaka." Dan dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Ka'ab bin 'Ashim, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah. Hadits Jabir merupakan hadits hasan shahih. Dan telah diriwayatkan dari nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: "Berpuasa ketika bepergian tidak termasuk dari kebaikan." Oleh karena itu para ulama berselisih pendapat mengenai berpuasa diwaktu safar, sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam berpendapat bahwa berbuka di waktu safar lebih baik, bahkan meraka berpendapat wajibnya mengqadla' jika dia berpuasa diwaktu safar, diantara yang memilih pendapat ini ialah Ahmad dan Ishaq. Sedangkan sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam dan yang lainnya berpendapat jika dia merasa kuat lalu berpuasa maka hal itu lebih baik, namun jika dia memilih berbuka maka hukumnya tidak mengapa. Pendapat ini juga dipilih oleh Sufyan Ats tsauri, Malik bin Anas dan Abdullah Ibnul Mubarak. Syafi'i berkata, makna hadits Nabi di atas ialah jika hatinya tidak menerima keringanan dari Allah ta'ala, adapun orang yang berpendapat mubahnya berbuka di waktu safar namun dia merasa kuat lalu berpuasa maka hal itu lebih saya sukai. | tirmidzi:644 |
Telah menceritakan kepada kami [Nashr bin Ali Al Jahdlami] dan [Abu 'Ammar] -makna haditsnya sama sedangkan lafalz haditsnya dari Abu 'Ammar- keduanya berkata, telah mengabarkan kepada kami [Sufyan bin 'Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Humaid bin Abdurrahman] dari [Abu Hurairah] dia berkata, seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam seraya berkata, wahai Rasulullah, celaka saya. Beliau bertanya: " Apa yang membuat kamu celaka?" Dia menjawab, saya telah menyetubuhi istri saya pada siang hari bulan Ramadlan, beliau bersabda: "Sanggupkah kamu memerdekakan budak?" Dia menjawab, tidak. Beliau bersabda: "Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?" Dia menjawab, tidak. Beliau melanjutkan: "Apakah kamu sanggup memberi makan enam puluh orang miskin?" Dia menjawab, tidak. Beliau bersabda: "Duduklah." Lalu dia duduk, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam dibawakan sekarung kurma, lantas beliau bersabda: "Bersedekahlah dengannya." Dia berkata, tidak ada satu orangpun di Madinah yang lebih faqir dari kami. Lantas Nabi ShallAllahu 'alaihi wa Salam tertawa sampai kelihatan gigi gerahamnya. Beliau bersabda: "Ambilah dan berikan pada keluargamu." (perawi) berkata, dalam bab ini 9ada juga riwayat -pent) dari Ibnu Umar, 'Aisyah dan Abdullah bin Amru. Abu 'Isa berkata, hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan shahih. Para ulama berpegang dengan hukum yang terdapat dalam hadits ini, yaitu orang yang sengaja berbuka dengan menyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadlan. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang sengaja berbuka dengan makan dan minum. Sebagian mereka seperti Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin Al Mubarak dan Ishaq berpendapat bahwa orang yang sengaja berbuka dengan makan dan minum, maka wajib mengqadla' dan membayar kaffarah (denda) -mereka menyamakan makan dan minum dengan jima'- Sedangkan sebagian ulama seperti Syafi'I dan Ahmad berpendapat (orang yang sengaja berbuka dengan makan dan minum) dia hanya wajib menqadla' dan tidak wajib membayar kaffarah, karena yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam adalah membatasi kaffarah hanya untuk jima' dan tidak menyebut makan dan minum. Sedangkan makan dan minum tidak sama dengan jima'.Imam Syafi'I berkata, perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam untuk bersedekah tidak menutup kemungkinan bahwa kaffarah hanya wajib bagi orang yang mampu, karena lelaki tersebut tidak mampu untuk membayar kaffarah. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam memberinya sekantung kurma dan menyuruhnya untuk bersedekah. Namun setelah dia menyatakan tidak ada orang yang lebih faqir darinya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam menyuruhnya untuk memberi makan keluarganya, karena kaffarah dibayar dari sisa makanan pokok yang dibutuhkan. Imam Syafi'I lebih memilih bahwa orang yang keadaannya sama dengan lelaki tersebut, hendaknya dia memakan kurmanya, namun dia tetap memiliki hutang membayar kaffarah (denda), jika dirinya tidak sanggup, maka dia tidak wajib membayar kaffarah (denda). | tirmidzi:656 |
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'] telah menceritakan kepada kami [Abu Mu'awiyah] telah menceritakan kepada kami [Sa'd bin Sa'id] dari [Umar bin Tsabit] dari [Abu Ayyub] dia berkata, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: " Barang siapa yang berpuasa Ramadlan yang dilanjutkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka hal itu sama dengan puasa setahun penuh." Dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Jabir, Abu Hurairah dan Tsauban. Abu 'Isa berkata, hadits Abu Ayyub adalah hadits hasan shahih. Sebagian ulama menyukai untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal berdasarkan hadits ini. Ibnu Al Mubarak berkata, pendapat itu baik seperti halnya berpuasa tiga hari di pertengahan tiap bulan, Ibnu Al Mubarak melanjutkan, telah diriwayatkan di sebagian hadits, bahwa puasa ini lanjutan dari puasa Ramadlan, Ibnu Mubarak memilih dan lebih menyukai berpuasa enam hari di awal bulan berturut-turut namun tidak mengapa jika ingin berpuasa enam hari tidak berurutan. (perawi) berkata, ['Abdul Aziz bin Muhammad] telah meriwayatkan hadits ini dari [Shafwan bin Sulaim], sedangkan [Sa'ad bin Sa'id] meriwayatkannya dari [Umar bin Tsabit] dari [Abu 'Ayyub] dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam. Begitu juga [Syu'bah] meriwayatkan hadits ini dari [Warqa' bin Umar] dari [Sa'ad bin Sa'id] dan Sa'ad bin Sa'id ialah saudaranya Yahya bin Sa'id Al Anshari, para ahlul hadits mencela Sa'ad bin Sa'id dari segi hafalannya. Telah menceritakan kepada kami Hannad telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al Ju'fi dari Isra'il Abu Musa dari Hasan Al Bashri beliau berkata, jika disebutkan padanya puasa enam hari di bulan Syawwal dia berkata, demi Allah, sungguh Allah telah ridla kepada puasa enam hari di bulan Syawwal sebanding dengan puasa setahun penuh. | tirmidzi:690 |
Telah menceritakan kepada kami [Hannad] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Fudlail] dari [Daud bin Abu Hind] dari [Al Walid bin Abdurrahman Al Jurasyi] dari [Jubair bin Nufair] dari [Abu Dzar] berkata; "Kami berpuasa Ramadlan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, namun beliau tidak shalat malam bersama kami sampai tersisa tujuh hari dari Ramadlan. Lalu beliau shalat bersama kami hingga sepertiga malam. Kemudian beliau tidak shalat bersama kami pada malam ke dua puluh enam. Beliau shalat bersama kami pada malam ke dua puluh lima, hingga lewat tengah malam. Kami berkata kepada beliau: 'Seandainya anda jadikan sisa malam ini untuk kami melakukan shalat nafilah.' Beliau bersabda: 'Barangsiapa yang shalat fardlu bersama imam, hingga selesai diberikan baginya pahala shalat satu malam.' Kemudian Nabi tidak shalat lagi bersama kami hingga tersisa tiga malam dari bulan Ramadlan. Beliau shalat bersama kami untuk ketiga kalinya, dengan mengajak keluarga dan istri-istri beliau. Lalu beliau shalat hingga kami takut akan ketinggalan al falah. (Jubair) bertanya; 'Apakah artinya al falah? ' Dia menjawab; 'Sahur'." Abu 'Isa berkata; "Ini merupakan hadits hasan shahih. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat shalat malam bulan Ramadlan. Sebagian dan mereka lebih memilih empat puluh satu rakaat dengan witir. Ini adalah pendapat penduduk Madinah, mereka mempraktekkannya di Madinah. Sebagian besar ulama berpendapat dengan berdasarkan riwayat dari 'Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memilih dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Ats Tsauri, Ibnu Al Mubarak dan Syafi'i. Syafi'i berkata; "Demikian juga kami dapati penduduk kota Makkah, mereka shalat sebanyak dua puluh rakaat." Ahmad berkata; "Ada banyak riwayat dalam masalah ini." Ahmad tidak menentukan mana yang dia pilih. Ishaq berkata; "Kami lebih memilih empat puluh satu rakaat. Berdasarkan riwayat dari Ubay bin Ka'ab. Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq lebih memilih shalat malam bulan Ramadlan berjamaah bersama imam, sedangkan Syafi'i memilih seorang laki-laki sendirian jika dia bisa membaca Al Qur'an. Hadits semakna diriwayatkan dari 'Aisyah, Nu'man bin Basyir dan Ibnu Abbas. | tirmidzi:734 |
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'], telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Zakariya bin Abu Za`idah], telah mengabarkan kepada kami [Al Hajjaj] dari [Al Hakam] dari [Miqsam] dari [Ibnu Abbas] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melempar jumrah pada hari Nahr di atas kendaraannya. (Abu Isa At Tirmidzi) berkata; "Hadits semakna diriwayatkan dari Jabir, Qudamah bin Abdullah dan Umu Sulaiman bin 'Amr bin Al Ahwash." Abu 'Isa berkata; "Hadits Ibnu Abbas merupakan hadits hasan. Hal ini merupakan pendapat sebagian ulama. Sebagian yang lain berpendapat agar berjalan kaki menuju ke tempat melempar jumrah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau berjalan menuju ke tempat melempar jumrah. Arti hadits ini menurut kami ialah beliau memakai kendaraan pada sebagian hari sebagai contoh dalam perbuatannya, dan kedua hadits tersebut dipakai oleh para ulama." | tirmidzi:823 |
Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Manshur], telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Sa'id] dari [Ubaidullah] dari [Nafi'] dari [Ibnu Umar] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi upah kepada penduduk Khaibar setengah bagian dari hasil panen kurma atau tanaman lain. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Anas, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan Jabir. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih dan hadits ini menjadi pedoman amal menurut sebagian ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka. Mereka membolehkan dalam masalah muzara'ah sebanyak setengah, sepertiga atau seperempat, namun sebagian mereka memilih pendapat yang menetapkan bahwa benih pada pemilik tanah, ini menjadi pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan sebagian ulama memakruhkan muzara'ah sebanyak sepertiga atau seperempat, namun mereka membolehkan musaqah pohon kurma sebanyak sepertiga atau seperempat, ini menjadi pendapat Abdul Malik bin Anas dan Asy Syafi'i, sebagian mereka berpendapat tidak sah sedikitpun dari hasil muzara'ah kecuali bumi menghasilkan emas atau perak. | tirmidzi:1304 |
Telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Umar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] berkata, telah menceritakan kepada kami [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Pamannya] dari [Imran bin Khushain] berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menebus dua orang laki-laki muslim dengan seorang laki-laki kafir." Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Paman Abu Qilabah adalah Abul Muhallab, dan nama aslinya adalah 'Abdurrahman bin Amru, atau sering dipanggil juga dengan nama Mu'awiyah bin Amru. Sedangkan Abu Qilabah namanya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi. Kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selainnya beramal dengan hadits ini. Yaitu, seorang Imam (Khalifah) mempunyai hak untuk memberi pengampunan kepada siapa yang ia kehendaki dari orang-orang kafir yang tertawan, membunuhnya atau meminta tebusan. Tetapi sebagian ahli ilmu memilih untuk membunuh mereka daripada meminta tebusan. Al Auza'I berkata, "Telah sampai kepadaku bahwa ayat ini: '(kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan..) -Qs. Muhammad: 4- telah dihapus oleh firman-Nya; '(Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka..) ' -Qs. Al Baqarah; 191- Seperti itulah Hannad menceritakan kepada kami, ia berkata; Ibnul Mubarak menceritakan kepada kami dari Al Auza'i. Ishaq bin Manshur berkata, "Aku bertanya kepada Ahmad, "Jika ada musuh yang tertawan, maka yang engkau sukai; dibunuh atau dibebaskan dengan tebusan?" Ia menjawab, "Jika mereka mampu memberi tebusan maka tidak apa-apa, dan jika dibunuh menurutku juga tidak apa-apa. Ishaq mengatakan; Musuh ditawan lebih aku sukai, | tirmidzi:1493 |